Tuesday, March 06, 2012

Random in Tokyo (March, 2012)


"Random in Tokyo" berisi foto-foto yang diunggah acak. Berisi rekaman foto perjalanan sehari-hari dari rumah residensi ke kantor AIT (Art Initiative Tokyo), kegiatan workshop, seniman bicara (artist talk), kunjungan ke museum, galeri dan ruang kerja seniman selama kurun waktu masa residensi saya, 2 s/d 31 Maret 2012.




Sila ke http://sudjuddartanto.tumblr.com untuk menikmati foto-foto dalam format tumblr. Informasi dan catatan kecil residensi akan dilayangkan ke blog ini + facebook (belum diperbaharui)
»»  read more

Friday, December 31, 2010

Bio

Graduated from Craft Departement, Visual Arts Faculty in Art Institute Indonesia (ISI) in Yogyakarta. Following the master degree on Religious and Cultural Studies from Sanata Dharma University, Yogyakarta. Aside of teaching in his almamater in ISI Yogyakarta, also curator and cultural researcher. 


Writer and artist in residence at Institute of Modern Art (IMA) and in the Fussion Gallery, Brisbane, Australia, as part of the Asialink Australia residencial program, 2003. A delegate for Indonesia in an international “People to People Exchange Program” held by ASEAN in Yogyakarta, 2003. Participated in the 4th "Biennials in Dialogue" – Conference, Series of events in Shanghai Biennale "Translocalmotion", 2008, organized by IFA and "Biennales in Dialogue", an Forum associated to the event Sydney Biennale “Revolutions-Forms that turn”2008. Visiting Curator at Getrude Contemporary, Melbourne, Australia, 2011. Curator in residence at Art Initiative Network (AIT), Tokyo, Japan, 2012.


Involved  in international creative project such as "Fussion Strenght", a collaboration of Singaporean and Indonesian artists in Benda Art Space, 2003,", a collaboration of Singaporean and Indonesian artists in Benda Art Space, 2003, "24 Hour Grey Zone", a collaboration of Indonesian and Swedish artists in Artuary, 2005, "Room Stories", a visual ethnographic project in Artuary,2005.  “South Project”, fifth International south-south Gathering organised by the South Project, 2009.


As a guest curator for "Trajectory", a contemporary ceramic exhibition invovling Indonesian and Australian artists in MAGNT (Museum and Gallery of Northern Territory), Darwin, Australia, 2008. The curatorial works extend from collective exhibitions: "Reply" the Yogyakarta Arts Festival in 2002, "Objecthood" in Taman Budaya, 2003, "Bung Ayo Bung", exhibitions to celebrate the centennial of Affandi, held simultaneously in Museum Affandi, Taman Budaya Yogyakarta, and Bentara Budaya Yogyakarta, 2007, and "Neo-nation" Biennale Jogja IX, 2007, “Immemorial, Reaching Back Beyond Memory”, a family history project, a collaboration project between Jogja-Darwin Artists, 2009, organized by 24 Hours Art Space and ICAN, Indonesian Contemporary Art Network.  Some of the co and curatorial works he did for solo exhibitions include: Agus Suwage's solo exhibition "Oh…Nguik" in the National Gallery (2003), Franzsika Feneert's solo exhibition "Everything is Rites" at the Affandi Museum (2008).
»»  read more

Sunday, December 12, 2010

Pukhet

Ruangan resto Pukhet tidak besar juga tidak kecil. Warung makan yang tak jauh dari jembatan layang Jogja ini berwarna dominan kuning. Nampak sejumlah poster di dinding resto yang menampikan sosok aristokrat (lewat dandanan ala pakaian kebesaran kerajaan Thailand?). Siapa dia?.

Entah. Wajah itu hadir dengan raut serius dengan sorot mata tajam. Sebuah postur yang memang sengaja tidak dibuat untuk tujuan menggoda dan dengan teknik perancangan tinggi sebagaimana kita lihat dalam bahasa iklan masa kini. Lepas dari miskinnya informasi atas sosok itu, kita bisa mengatakan bahwa sosok itu memiliki kedudukan dan status sosial penting di dalam budaya Thailand (?) itu sendiri. Pendek kata, figur itu pun mencapai statusnya sebagai sebuah simbolApa kaitan antara sosok itu, dengan Pukhet dan masyarakat disini (Jogja) ?

Barangkali kita bisa memberi pendapat seperti ini: bahwa pada masyarakat yang (masih?) percaya pada simbol dan butuh dipersatukan oleh simbol, sosok simbolis itu seperti mendapat tempatnya. Figur itu juga seperti memainkan fungsinya sebagai tanda yang mengatasi rasa cemas dan rasa ragu kita, seolah-olah figur itu bisa ngomong: "Anda orisinal dan otentik bersama saya". Siapa yang berbicara kepada kita? Kita tidak tahu persis: dihadapan potret "sosok bangsawan" itu kita seolah memperoleh jaminan untuk mengalami rasa "ke-Thailand-an yang otentik dan orisinal".

Lagu demi lagu tradisional Thailand di Pukhet mengiringi ritual makan. Alunan nada yang terdengar seperti lagu mandarin; atau mungkin gending Bali; gending Jawa (?): lagu pengiring itu mengentalkan rasa dan aroma rempah-rempah menu Pukhet. Nada lagu itu juga seperti memainkan fungsinya sebagai "pembatas virtual" yang membagi "dunia dalam" resto dan "luar resto" (begitu kita keluar dari Pukhet yang hadir adalah dunia lain tersendiri yang dibangun oleh bunyi bising lalu-lalang kendaraan); nada lagu itu juga seperti berfungsi sebagai pagar kasat mata yang membedakan diri dengan berbagai jenis resto yang melambangkan identitas negara/bangsa: resto China; Jepang; Persia; dan lain-lain.

Sambil makan dan bersenda gurau kita mendapat bonus: tamasya ke Thailand atau lebih tepatnya: perjalanan imajiner atas "ke-Thailand-an".Tidak terlalu penting apakah kita pernah ke negeri ini atau belum. Tetapi Pukhet (sebuah nama pulau di Thailand) sudah kita kunjungi melalui rasa: asam-pedas; dimakan dengan cara memindah kuah berikut isi Tom Yam sea food ke mangkok kecil; mengoleskan sambal ke ayam goreng; sesekali iseng menggigit daun jeruk nipis; menguliti dan mencecah daging dan seterusnya.

Ditengah puluhan hingga ratusan simbol makanan global, Pukhet seperti menghadirkan sebuah teka-tekinya tersendiri, "apa itu Thailand?", betulkah Thailand adalah apa yang tersurat melalui brosur pariwisata atau budaya promosionalnya ? Saya tidak memikirkan sejauh itu. Saya dan istri hanya makan sambil ngelantur (atau semacam ngomyang:bahasa Jawa) bersama Tom Yam :-p, dengan potret sosok yang terus menatap siapapun yang menikmati menu Pukhet; sorotan mata yang tentu saja tak kosong; sebuah tatapan imperatif yang paradoksnya justru menambah nikmat (pleasure) disamping sekadar kenyang...

Yogyakarta, 19-9-2010
»»  read more

Saturday, April 10, 2010

Abadi dan Mandiri bersama biskuit Khong Guan


Diantara sejumlah biskuit, ada satu kaleng biskuit yang menyita perhatian penikmat biskuit: biskuit Khong Guan. Khususnya yang bergambar keluarga kecil yang tengah menikmati biskuit dan kopi atau teh?

Bila kita memperhatikan ilustasi pada kaleng kotak itu nampak dari dulu sampai sekarang, dua remaja dan si Ibu tidak tumbuh besar * saya ingat film Unyil :) Mereka tetap terus menerus makan dan terlihat harmonis. Di atas meja itu, tersedia minuman dan biskuit yang terhidang. Tentu biskuit itu biskuit Khong Guan. Namun, yang menarik tidak tampak sang Bapak? Potret keluarga kecil ini menyiratkan potret keluarga sedang atau mapan. Mungkin, sang bapak sedang dinas luar? Yang pasti sosok ibu disitu seperti ingin menegaskan kehadirannya sebagai citra ibu yang intim mengasuh kedua remaja itu.


Sejak Khong Guan PTe LTD ini memasarkan biskuit ini tahun 1947, ilustrasi dan cita rasa biskuit ini telah hadir dalam ritual masyarakat Indonesia selama 62 tahun. Jenis biskuit ini bermacam-macam, mulai dar Crackers, Cookies, Wafers, Shortcake Biscuits, Cream-Filled Sandwich, dan lain-lain. Pabrik biskuit ini tersebar dari Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina, Hongkong, dan Cina. Eksport biskuit ini meluas ke Amerika hingga timur tengah termasuk Jepang dan Papua New Guenia.

Ritual ini hadir biasanya menjelang hari raya besar agama. Tamu dipersilahkan mencicipi biskuit kaleng ini. Biasanya ditemani oleh teh manis atau kopi. Dan segera setelah itu, antara tuan rumah dan tamu berlangsung berbagai jenis obrolan. Bila obrolan terasa hambar atau macet, maka ini waktu yang tepat untuk mengunyah-ngunyah biskuit Khong Guan, sebab siapa tahu ada topik obrolan baru !

Diantara jenis biskuit, jenis biskuit favorit yang paling banyak dicari adalah “wafer”. Ya, wafer, biskuit ini biasanya agak tersembunyi di antara deretan dan susunan hirarkis jenis biskuit lainnya. Saya termasuk yang mencari biskuit yang mengandung pemanis cokelat ini :) Kres, bunyinya, tanda rasa yang simpel dan renyah ! Tapi tunggu dulu ! Jangan langsung dimakan, ada keasikan tersendiri ketika lapis demi lapis kue ini dibuka satu persatu.

Si wafer diburu karena memang nampak ia diposisikan istimewa. Terlapisi plastik pelindung khusus. Selain itu, seperti sudah jadi tradisi, biskuit wafer seolah mengawali dan mengakhiri proses memakan jenis biskuit lainnya. Keponakan saya mendapat kelakar julukan dari bulek saya di Jawa Timur sebagai: “gilingan puntir”. Seperti penggiling, sebab susunan biskuit dalam kaleng Khong Guan dipuntir-puntirnya berantakan, pokoknya diobok-obok sampai wafer ketemu. Dari cerita tentang bulek, biskuit ini memicu banyak pengertian baru: Gilingan Puntir. 


Bila kita mau berkunjung ke Kebon Binatang Surabaya (KBS), nampak tak jauh dari situ ada tugu Khong Guan. Tugu Khong Guan seperti sebuah landmark, ia juga menandai kota Surabaya selain patung Yos Sudarso dan tugu Pahlawan. Apa yang kita lihat dari tugu itu sama persis dengan bentuk kotak kaleng Khong Guan. Dari bilik jendela bis, mobil, atau orang-orang yang dipemberhentian lampu merah akan melihat sosok tegar Khong Guan.

Walau tak setinggi monumen umumnya, cara berdiri Khong Guan berdiri sama seperti cara berdiri tugu Pahlawan dan patung Yos Sudarso yang berdiri tegap dan mantap. Seperti tokoh Yos Sudarso dan mitos Sura dan Baya, biskuit Khong Guan seperti tak mau kalah dan juga seperti lantang berseru: “Walau hujan dan panas menerpaku, aku tetap Khong Guan mu !” Kurang lebih begini bila kita menjejajarkan tugu Khong Guan dengan nasionalisme tanda pada tugu Pahlawan dan Yos Sudarso.

Ilustrasi pada kaleng biskuit itu menjadi penjadi pengingat setiap peralihan generasi. Ilustrasi Khong Guan tetap sama. Ibu dengan dua anak itu tetap tengah asik menikmati hidangan biskuit. Dengan nuansa mode rambut dan pakaian “jadul” era 60-70-an. Khong Guan seperti tidak menjanjikan apa-apa . Tetap konsisten. Baik dari bentuk dan cita rasanya. Konservatif? Kita boleh bosan dengan cara biskuit ini mencitrai dirinya, namun nyataya biskuit ini tetap digemari oleh keluarga Indonesia.

Barangkali bukan lagi jenis dan rasa biskuit itu yang kita ingini, tapi kita membutuhkan nilai keabadian dan kemandirian yang tak terlihat dari biskuit Khong Guan. Mungkin...

Mari kita bikin teh atau kopi dengan hidangan biskuit dengan cita rasa abadi ini :)
»»  read more